Jumat, 25 Desember 2009

ORIENTASI HIDUP

”Jika seorang manusia sudah memiliki dua lembah yang penuh berisi dengan harta, maka pasti ia akan mencari lembah yang ketiga. Dan tidak akan pernah manusia merasa kenyang hingga tanah sudah kena pada perutnya.”

- Al-Hadits –

Dalam kehidupan di era teknologi digital yang serba canggih dewasa ini, kecenderungan yang merasuki banyak manusia adalah hidup mengejar kesuksessan dalam karier, hidup dan bisnis setinggi-tingginya. Menjadi sukses dalam karier, hidup dan bisnis telah menjadi tujuan utama banyak manusia, apapun paradigma kesuksesan itu baginya. Kebanyakan manusia — apa pun suku bangsa, kedudukan, jabatan, maupun agamanya– menempatkan ukuran kesuksesan hidupnya melalui ukuran penguasaan materi atau harta benda.
Keinginan kuat setiap individu untuk menjadi sukses dan berhasil meraih kekayaan materi atau harta adalah sesuatu yang penting. Begitu pentingnya memiliki kekayaan harta atau materi ini, maka Imam Al-Ghazali mengibaratkan, “orang yang mencari kebaikan tanpa harta ibarat orang pergi ke hutan tanpa membawa senjata atau ibarat burung elang tak bersayap”. Karena materi merupakan sarana penting dalam mencapai berbagai tujuan kebaikan. Materi juga memiliki peranan penting pula dalam upaya manusia meningkatkan kualitas hidup maupun dalam upaya manusia meningkatkan amalan ibadahnya.
Yang menjadi masalah adalah, begitu sibuknya manusia mengejar kekekayaan materi duniawi ini, seringkali menjadikan mereka melupakan hakekat kehidupan dan hakekat kekayaan sejati yang abadi. Mereka menempatkan pusat orientasi hidupnya pada kesuksesan penguasaan materi, bahkan sampai mendewakan materi. Mereka mengejar keberhasilan materi dengan tidak memperdulikan aturan hukum alam dan cenderung memutarbalikan hukum alam. Kecenderungan seperti inilah yang salah dan harus diluruskan kembali

Manusia yang hanya menempatkan orientasi hidup pada nilai-nilai duniawi semata, mereka akan menjadi manusia yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang dikuasainya. Mereka ingin menambah dan menambah terus. Ini sama halnya dengan jabatan atau kekuasaan yang telah mereka dapatkan. Ketika mereka memiliki kekuasaan atau jabatan maka cenderung selalu ingin dipertahankan, walaupun, misalnya, sudah tidak memiliki kemampuan melaksanakannya ataupun sudah terlalu banyak kesalahan yang pernah dilakukannya.
Lantas bagaimana agar kita tidak terjebak dalam jeratan orientasi salah dalam hidup yang hanya berpusat pada materi duniawi ? Bagaimana kita menyikapi kehidupan yang penuh persaingan tanpa terjebak dalam kesalahan paradigma tentang kekayaan materi ? Berikut aka nada beberapa penjelasan mengenai hakekat kehidupan.

A.Hakekat hidup sejati

Begitu sibuknya manusia modern mengejar kekayaan materi duniawi seringkali salah dalam memahami hakekat hidup sejati. Ada aturan hukum alam yang mengatur mengenai hakekat “hidup sejati” dengan “akibat yang diterima” dari hidup sejati. Apa itu hakekat hidup sejati dan akibat yang diterima dari kehidupan ? Hidup sejati adalah inti, yang seharusnya dikerjar lebih dulu oleh manusia. Sedangkan akibat yang diterima adalah hasil yang akan datang dengan sendirinya.
Ilustrasi sederhananya adalah, kalau Anda seorang karyawan maka berusahalah menjadi “karyawan sejati” yang menjunjung tinggi profesionalisme dan nilai-nilai spiritual kebenaran lebih dulu. Kekayaan uang atau materi adalah “akibat” dari hasil menjadi karyawan sejati. Kalau anda menjalankan usaha, maka berusahalah menjadi pengusaha sejati yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran lebih dulu. Sedangkan profit atau keuntungan materi berlimpah adalah akibat yang akan didapatkan dengan menjadi pengusaha sejati. Demikian juga dengan profesi lainnya. Dahulukan menjalani hakekat hidup sejati.
Janganlah lebih dulu mengejar kekayaan uang, lebih dulu menginginkan gaji yang tinggi, tanpa berusaha menjalani hidup sejati. Ini namanya memutarbalikan aturan hukum alam yang berarti hukum Allah. Inilah yang menyebabkan banyak orang melakukan berbagai penyimpangan, penyelewengan, korupsi, penipuan demi mendapatkan tujuannya untuk keberhasilan materi dan kekayaan, yang harusnya adalah akibat yang diperoleh kemudian dari hidup sejati. Akibatnya tatanan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa menjadi rusak dan dilanggar begitu saja, seperti apa yang kita rasakan sekarang ini.

B. Kekayaan spiritual
Dalam mengejar kekayaan materi, keberhasilan duniawi sebaiknya selalu mengimbangi dengan kekayaan spiritual. Berusahalah terus meningkatkan diri dalam mengisi kekayaan spiritual diri kita. Karena kekayaan spiritual ini akan mampu mengendalikan dan mengisi setiap kehidupan manusia dengan sifat senantiasa bersyukur dan merasa puas. Dalam pengertian sederhana, bisa mensyukuri terhadap apa yang sudah diperolehnya. Sifat syukur ini merupakan manifestasi dari suara hati spiritual, sehingga dapat menjadikan terminimalisasinya sifat serakah, tamak, rakus dan merusakan tatatan hukum kehidupan.
Hakikat kekayaan itu bukanlah semata-mata banyak harta yang dikuasai, akan tetapi terletak pada kekayaan spiritual yang dimiliki. Orang yang memiliki kekayaan spiritual tidak akan pernah dikendalikan dan dikuasai oleh materi, jabatan, dan kedudukan, akan tetapi justru hal-hal tersebutlah yang dikendalikan dan dikuasainya. Semuanya itu hanyalah merupakan alat untuk mengaktualisasikan fungsi kekhalifahannya yang memberikan kebaikan dan kemanfaatan bagi masyarakat banyak.

C. Berdamai dengan ketentuan Allah
Berdamai dengan ketentuan Allah artinya, dalam mengejar keberhasilan hidup dunia dan kekayaan materi senantiasa mengikuti aturan hukum Allah. Tidak melanggar ketentuan-ketentuan Allah yang sudah dituangkan dalam kitab suci-NYA serta dapat berdamai menerima segala ketentuan-Nya. Kemampuan berdamai dengan ketentuan Allah dapat mengarahkan manusia untuk merasa puas atas rahmat Allah. Ini adalah sikap spiritual dan perilaku rohaniah yang menjadi kekayaan sejati yang tidak akan pernah habis. Manusia yang mampu memiliki sifat mampu menerima ketentuan Allah, dapat berpuas diri dengan hasil perjuangannya, dapat melahirkan pribadi yang tenang, memiliki sikap yang cerdas dan tentu saja pandai bersyukur terhadap segala nikmat Allah SWT yang diberikan kepadanya.

D.Tiga Orientasi Hidup

Paling tidak terdapat tiga orientasi hidup manusia. Pertama, golongan yang secara khusus mengonsentrasikan dirinya untuk beribadah sehingga ia tidak peduli dengan urusan-urusan duniawi. Cara beragama seperti ini banyak dijalani oleh para sufi. Kehidupan mereka hanya digunakan untuk beribadah, berzikir, memohon ampun kepada Allah Swt. Tak ada urusan yang mereka lakukan kecuali yang berhubungan dengan ibadah dan kehidupan akhirat. Bahkan golongan ini cenderung memusuhi dunia. Harta benda dipandang sebagai penghalang dan melalaikan ibadah. Karena kekhusyuannya dalam beribadah, mereka tidak lagi sempat mencari nafkah hidup. Bukan hanya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan cukup, untuk kebutuhan dirinya pun seadanya.
Kedua, golongan yang terlalu disibukkan dengan urusan duniawi. Mereka lupa ibadah kepada Tuhan. Urusan-urusan duniawi telah melalaikannya berzikir. Karena orientasinya duniawi, tak ada yang dipikirkan kecuali urusan untung rugi, berapa income perusahaan, dan lain sebagainya. Setiap peluang tak pernah disia-siakan. Mereka tak peduli lagi halal-haram. Tak peduli hasil korupsi atau manipulasi. Semua itu dijalani hanya untuk menumpuk-numpuk harta, demi kemegahan hidup dan kekaguman orang lain terhadap dirinya. Pola hidup ini pernah dilakoni oleh Karun.
Dengan sombong ia berkata: tidak ada yang kumiliki dari harta ini kecuali karena ilmu yang aku miliki (QS Al-Qashash [28]: 78).
Ketiga, golongan yang memilih keseimbangan “waktu” untuk urusan duniawi dan ukhrawi. Mereka sadar bahwa hidup ini akan ada akhirnya, dan tidak ada yang bisa dijadikan bekal hidup di alam yang kekal itu kecuali amal saleh. Mereka juga sadar apa yang mesti dijalani selama hidup di dunia ini. Mereka tahu bahwa Tuhannya memerintahkan agar mencari karunia dunia sehingga ia bisa merasakan bahagianya hidup di dunia. Hari-hari mencari duniawi itu dijalani dengan penuh kesabaran dan ketawakalan. Mereka sangat hati-hati, sehingga bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Kewajiban salat lima waktu, puasa, zakat, dan ibadah-ibadah lainnya, menjadi bagian penting dalam aktivitas sehari-harinya.

E. Berlebihan dalam Beragama

Dari tiga orientasi hidup di atas, ada sebagian orang yang beragama secara berlebihan. Menurut Muhammad Az-Zuahili dalam bukunya Moderat dalam Islam (2005), sikap berlebih-lebihan dalam beragama itu paling tidak karena dua faktor.
Pertama, tamak. Pada dasarnya sikap ini merupakan insting atau fitrah yang ada pada diri manusia. Mengharapkan cepatnya meraih yang disukainya dan yang diusahakannya termasuk dari sekian banyak sifat manusia. Orang yang tamak cenderung menambah sarana-sarana baru dalam beribadah yang berasal dari dalam jiwanya, hawa nafsu dan akalnya dengan tujuan agar hal tersebut dapat mendekatkan kepada tujuan. Orang tamak juga mempunyai anggapan bahwa jalan yang ia tempuh adalah manhaj yang lurus, jalan yang benar, sarana satu-satunya, dan sarana yang kokoh untuk meraih apa yang ada di sisi Allah. Dia beranggapan bahwa orang di luar diri dan golongannya kurang atau berada di bawahnya dalam hal beramal. Jika sikap beragama yang tamak ini terorganisasi, maka akan terbentuk komunitas ekstrim.
Kedua, dosa dan kesalahan. Dosa dan kesalahan masa lalu akan menjadi pendorong sikap berlebih-lebihan dalam beragama karena perasaan khawatir terhadap masa lalu yang kelam. Juga khawatir terhadap akibat-akibat dari dosa dan amalan-amalan buruk yang telah dilakukannya pada usia mereka yang telah berlalu serta dosa-dosa yang telah dilakukan oleh tangan-tangan mereka. Kekhawatiran dan penyesalan akan dosa-dosa itu kemudian diikuti dengan usaha menghapus dosa dalam waktu cepat. Karena terlalu tergesa-gesa dengan harapan dosa agar cepat terhapus, mereka keliru menemukan jalan yang normal. Mereka berusaha membuat tambahan dalam agama, bersikap kaku dalam menjalankan hukum-hukum, keras dalam beribadah, dan melewati batasan yang telah digariskan dalam menjalankan pembebanan hukum.

Dua hal tersebut akan mengakibatkan sikap beragama mengarah ke arah radikal, kaku dan berlebih-lebihan dalam akidah dan hukum-hukumnya. Sikap berlebih-lebihan dalam beragama adalah suatu penyakit yang membahayakan. Sikap itu diharamkan dan dilarang menurut syariat. Sikap tersebut dapat mendatangkan akibat-akibat buruk pada masa lalu, sekarang, dan masa mendatang, bagi individu, umat, dan masyarakat. Juga bisa berakibat buruk pada akidah, syariat, hukum, pemikiran, serta perilaku dan tindakan.
Rasulullah telah menjelaskan kepada kita akan bahaya-bahaya sikap berlebihan dalam berperilaku dan hal itu dapat mengantarkan kepada kebinasaan. Rasulullah Saw bersabda, “Hai umat manusia, hindarilah sikap berlebih-lebihan dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah dibinasakan oleh sikap berlebih-lebihan dalam beragama,” (HR Ahmad dan Nasai). Melalui hadis ini, Rasulullah mengingatkan kepada para sahabat dan kita umatnya agar tidak bersikap berlebih-lebihan dalam beragama, baik dalam beribadah maupun perilaku sehari-hari.

F.Beragama dengan Seimbang

Dalam mengekspresikan keberagamaan, Islam sangat menekankan kewajaran. Islam tidak menyukai hal-hal yang berlebihan. Rasulullah sendiri sebagai panutan agung kaum Muslim memberikan contoh yang wajar dan sederhana dalam menjalani ibadah. Dalam sebuah hadis, Beliau bersabda, “Ingatlah, sesungguhnya aku ini tetap berpuasa dan berbuka, salat malam dan tidur, dan aku juga menikahi wanita-wanita. Barangsiapa yang tidak menyukai sunahku, maka tidak termasuk golonganku,” (HR. Bukhari-Muslim).
Sikap wajar dan sederhana dalam beribadah yang dicontohkan Rasulullah Saw ini sesuai dengan anjuran ajaran Islam pada umumnya mengenai keseimbangan hidup untuk urusan duniawi dan ukhrawi. Dalam Al-Quran dijelaskan, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu,” (QS Al-Qashash [28]: 77).
Ayat tersebut menegaskan perlunya keseimbangan menjalani hidup sekaligus, baik untuk urusan duniawi maupun ukhrawi. Itu merupakan aturan Islam yang sempurna mengenai ketaatan dan ibadah, serta gambaran mendetail mengenai alam, kehidupan, dan manusia. Hal tersebut juga pernah dipraktikkan oleh Rasulullah Saw dalam bentuk yang nyata dan sangat jelas dengan sunahnya. Islam menganggap bahwa setiap amalan yang dimaksudkan untuk mendapatkan ridha Tuhan sebagai ibadah. Dengan demikian, seseorang akan selalu dalam lingkup ibadah kapan saja dia meniatkan amalan-amalan dan tindakan-tindakannya demi mencari keridhaan Tuhan.
Jika kita telah beragama dengan seimbang, niscaya kita akan menjalani hidup ini dengan tenang, sejahtera dan bahagia di dunia dan akhirat. Sehingga, tidak kita dapati lagi sebagian orang yang memaksakan kehendaknya, mengkafirkan saudaranya, melakukan aksi kekerasan dan terorisme. Dengan keseimbangan hidup ini, kita dapat membangun kembali potensi umat dan menjadi rahmatanlil’alamin.
Wallahualambishawab.

KESIMPULAN

Dalam menjalani kehidupan didunia ini hendaknya kita lebih berorientasi kepada akhirat, hal itu karena segala yang di dunia ini hanya sementara saja dan jika kita terus mengikuti kebutuhan dunia maka tidak akan pernah terselesaikan, untuk itu hendaknya sebagai seorang muslim hendaknya memahami hakekat kehidupan yang sejati yaitu mengejar kebahagiaan akhirat dan tidak semata-mata mengejar harta saja.
Kemudian senantiasa berdamai dengan keteneuan Allah, yaitu mensyukuri sagala yang kita punya sehingga senantiasa merasa bahagia dalam menjalani hidup.Mengorientasikan hidup untuk menjalankan perintah-perintah Allah juga yang harus dilakukan untuk mencapai kebahagiaan kehidupan di dunia dan di akhirat nantinya.Selain itu kita juga harus seimbang dalam beragama dan bermasyarakat sehingga terjadi keharmonisan antara keduanya

Jumat, 03 April 2009

MIMPI HARI INI adalah KENYATAAN HARI ESOK

Saudaraku,
Janganlah engkau putus asa, karena putus asa bukanlah akhlak seorang muslim. Ketahuilah bahwa kenyataan hari ini adalah mimpi hari kemarin, dan impian hari ini adalah kenyataan di hari esok. Waktu masih panjang dan hasrat akan terwujudnya kedamaian masih tertanam dalam jiwa masyarakat kita, meski fenomena-fenomena kerusakan dan kemaksiatan menghantui mereka. Yang lemah tidak akan lemah sepanjang hidupnya dan yang kuat tidak akan selamanya kuat.

Allah swt. berfirman,
"Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman serta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu." (Al-Qashash: 5-6)


Putaran waktu akan memperlihatkan kepada kita peristiwa-peristiwa yang mengejutkan dan memberikan peluang kepada kita untuk berbuat. Dunia akan melihat bahwa dakwah kita adalah hidayah, kemenangan, dan kedamaian, yang dapat menyembuhkan umat dari rasa sakit yang tengah dideritanya. Setelah itu tibalah giliran kita untuk memimpin dunia, karena bumi tetap akan berputar dan kejayaan itu akan kembali kepada kita. Hanya Allah-lah harapan kita satu-satunya.

Bersiap dan berbuatlah, jangan menunggu datangnya esok hari, karena bisa jadi engkau tidak bisa berbuat apa-apa di esok hari.

Kita memang harus menunggu putaran waktu itu, tetapi kita tidak boleh berhenti. Kita harus terus berbuat dan terus melangkah, karena kita memang tidak mengenal kata "berhenti" dalam berjihad.

Allah swt. berfirman,
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, sungguh akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami. "(Al-Ankabut: 69)

Hanya Allah-lah Dzat yang Maha Agung, bagi-Nya segala puji.

Rabu, 11 Maret 2009

Jangan Menunda Haji

Haji & Umrah

Alangkah baiknya bila kita mulai menata hati dan niat berhaji sejak usia 20-an atau 30-an.


Melaksanakan ibadah haji merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam yang mampu. Baik mampu secara fisik maupun finansial. ''Haji merupakan salah satu rukun Islam. Sudah seharusnya seluruh umat Islam yang mampu, berkepentingan dan merasa perlu untuk berhaji,'' ujar Ustadz Muhammad Abdul Syukur Yusuf, pengasuh pesantren Yatama Az Zikra, Depok, Jawa Barat.



Menurut pria yang akrab disapa Ustadz Syukur ini, sebenarnya ibadah haji hanya perlu dilakukan sekali saja seumur hidup. Oleh karena itu, pelaksanaannya harus dipersiapkan semaksimal mungkin agar kesempatan menyempurnakan tiang agama yang kelima ini tidak berlalu dengan sia-sia.Senada dengan Ustadz Syukur, Ustadz Bobby Herwibowo, dari Dompet Dhuafa Travel mengungkapkan bahwa untuk bekal persiapan haji perlu dilakukan pesiapan lahir dan batin secara terintegrasi. Hal itu sangat penting untuk mengoptimalkan pelaksanaan ibadah di Tanah Suci. ''Secara lahir perlu diperhatikan kesehatan fisik calon jamaah. Karena ibadah haji merupakan ibadah fisik, selain melakukan persiapan manasik haji, perlu juga dilakukan latihan fisik,'' jelas Ustadz Bobby.

Menurutnya, salah satu latihan fisik yang diperlukan namun kerap terlupakan adalah latihan untuk duduk. ''Latihan ini diperlukan mengingat para jamaah haji harus duduk selama belasan jam dalam ritual i'tikaf yang merupakan salah satu rukun berhaji,'' lanjutnya.Dari segi usia diharapkan jamaah yang akan berangkat haji berusia di bawah 50 tahun, karena di atas usia 50 dikhawatirkan jamaah akan menemukan kesulitan-kesulitan ketika menjalankan ritual berhaji yang membutuhkan kesiapan fisik yang baik. ''Oleh sebab itu alangkah baiknya apabila kita mulai menata hati dan niat kita untuk mulai mempersiapkan ibadah haji sejak usia 20 atau 30-an,'' ungkap Bobby yang yang juga anggota dari Majelis al-Kauni, Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur.

Menurutnya, secara finansial kita dapat mulai mempersiapkan tabungan untuk berhaji sejak jauh-jauh hari sembari mempersiapkan ilmu berhaji melalui banyak membaca dan mendengarkan pengalaman dari orang-orang yang telah terlebih dahulu berangkat.Ustadz Syukur bahkan menekankan pentingnya tidak menunda kewajiban untuk berhaji apabila kita memang telah diberikan kemudahan rezeki dan kesehatan. Menurutnya, Rasulullah saw pernah bersabda ''Sesungguhnya Allah berfirman, 'Jika ada seorang hamba telah Aku sehatkan badannya dan Aku lapangkan rezekinya, lalu setelah lima tahun berlalu ia tidak menjadi delegasi yang datang kepada-Ku (untuk berhaji), maka sungguh ia sama sekali tidak mendapat bagian apa-apa.' (HR Ibnu Hibban, disahihkan Al-Abani).

''Dari hadits tersebut kita dapat memastikan bahwa sesungguhnya kita tidak perlu merasa takut untuk berhaji dan jangan sampai kita menunda untuk berangkat,'' tegas Ustadz Syukur. Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa tidak jarang kita temui adanya anak yang ingin menunjukkan baktinya kepada orang tuanya dengan cara memberangkatkan mereka berhaji terlebih dahulu dengan rezeki yang ia peroleh. Hal ini boleh-boleh saja dilakukan. ''Sebenarnya lebih afdol (utama) siapa yang memiliki kemampuan, dialah yang berangkat. Tapi, apabila ia mempertimbangkan kelangsungan rezeki yang akan ia peroleh di masa yang akan datang, ia masih ada tabungan, maka ia boleh mendahulukan orang lain,'' papar Ustadz Syukur.

''Orang yang menunda untuk melaksanakan ibadah haji ketika ia sebenarnya mampu untuk berhaji, sama saja ia menunda ampunan Allah dan ridha Allah. Lagi pula kita juga tidak tahu sampai kapan Allah memberikan kita kesempatan untuk hidup. Sebaiknya berhaji janganlah ditunda,'' tegas Ustadz Bobby. Menurutnya, pada prinsipnya kewajiban berhaji itu bersifat individual. Siapa yang memiliki kemampuan, dialah yang seharusnya berangkat.

Ketika kita memiliki kemampuan untuk berangkat sendiri untuk berhaji, menurut Ustadz Bobby, sebaiknya kita menggugurkan kewajiban kita sendiri untuk berhaji. ''Apabila kita belum mampu untuk berangkat bersama istri, atau anggota keluarga lain, berangkatlah sendiri dulu untuk menyempurnakan tiang agama kita dan menjemput ampunan serta ridha Allah,'' tutur Ustadz Bobby.ci2


TELADAN PEMIMPIN UMAT

Selama perjalanan, tidak ada orang fakir yang ditemui. Khalifah Umar telah membuat rakyatnya makmur.

Umar bin Abdul Aziz berdiri di atas mimbar di hari Jumat. Ia kemudian menangis. Ia telah dibaiat umat Islam sebagai pemimpin. Di sekelilingnya terdapat para pemimpin, menteri, ulama, penyair dan panglima pasukan. Ia berkata, ‘’Cabutlah pembaiatan kalian!’‘ Mereka menjawab, ‘’Kami tidak menginginkan selain Anda!’‘ Ia kemudian memangku jabatan itu, sedang ia sendiri membencinya. Tidak sampai satu minggu kemudian, kondisi tubuhnya sangat lemah dan air mukanya telah berubah. Bahkan ia tidak mempunyai baju kecuali hanya satu. Orang-orang bertanya kepada istrinya tentang apa yang terjadi pada khalifah.

Istrinya menjawab, ‘’Demi Allah, ia tidak tidur semalaman. Demi Allah, ia beranjak ke tempat tidurnya, membolakbalik tubuhnya seolah tidur di atas bara api, Ia mengatakan, ‘’Ah, ah, aku memangku urusan umat Muhammad SAW, sedang pada hari Kiamat aku akan dimintai tanggungjawab oleh fakir dan miskin, anakanak dan para janda.’‘

Itulah sosok pemimpin yang amat memegang amanah serta tanggung jawab, melebihi apapun. Khalifah Umar justru tidak melihat kesempatan untuk memperkaya diri atau memanfaatkanjabatannya itu, melainkan beban berat yang dipikulnya di hari Kiamat kelak.

Oleh karenanya, sejarah mencatat, selama kepemimpinannya, sang Khalifah benar-benar bertindak de ngan mendahulukan kepentingan umat. Dan hal tersebut juga ditanamkan kepada segenap anggota keluarganya. Sebelum menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz, setiap hari mengganti pakaian lebih dari satu kali. Ia jugamemiliki emas dan perak, pembantu dan istana, makanan dan minuman serta segala. Akan tetapi, ketika ia memangku jabatan kekhalifahan, semua kemewahan itu ditinggalkan.

Suatu kali, khalifah Umar bin Abdul Aziz agak terlambat shalat Jumat sehingga banyak orang yang mencelanya. Umar menjawab, ‘’Maafkan, aku terpaksa menunggu pakaianku yang sedang dicuci sampai kering.’‘ Maslamah bin Abdul Malik menjenguk Umar bin Abdul Aziz yang sedang sakit.

Ia melihat baju yang dipakai khalifah Umar bin Abdul Aziz sedemikian lusuh dan kotornya. Ia kemudian berkata kepada Fatimah, istri Umar yang tak lain adalah juga adik Mas lamah bin Abdul Malik. ‘’Tidak kah kau bisa mencucikan pakaiannya?’‘ Fatimah menjawab, ‘’Demi Allah, ia tidak memiliki baju selain yang dipakainya itu. Jika aku mencucinya, ia tidak berpakaian lagi.’‘

Usai shalat isya, biasanya Umar bin Abdul Aziz masuk menemui putriputrinya dan mengucapkan salam kepada mereka. Suatu malam ia masuk menemui mereka. Begitu merasakan kedatangan Umar, mereka spontan meletakkan tangan mereka pada mulut mereka dan langsung meninggalkan pintu. Umar bertanya pada pembantu wanitanya, ‘’Ada apa dengan mereka?’‘

Pembantu wanitanya menjawab, ‘’Ti dak ada yang bisa mereka santapbuat makan malam kecuali ba wang. Mereka tidak mau, baunya itu tercium dari mulut mereka.’‘ Umar lantas berkata kepada mereka, ‘’Hai putriputriku, apa manfaatnya bagi kalian makan makanan yang enak dan bermacam-macam jika hal itu menye ret ayah mu ke neraka.’‘ Putri-putri Umar itu lalu menangis hingga terdengar keras suaranya, lalu Umar bergegas pergi.

Di lain kesempatan, Yahya bin Said berkata, ‘’Umar bin Abdul Aziz mengutusku menarik zakat di Afrika maka aku jalankan. Aku mencari-cari sekiranya ada kaum fakir yang dapat kami beri bagian zakat itu, ternyata tidak kami temui orang fakir sama sekali dan tidak aku temui orang yang mau mengambil zakat dariku. Umar bin Abdul Aziz telah membuat rakyatnya kaya dan makmur. Akhirnya, uang zakat itu aku belikan budak dan budak itu aku merdekakan, dan mereka setia pada kaum Muslimin.’‘

Begitu memegang khilafah, Umar bin Abdul Aziz segera mengembalikan ba rang-barang yang diambil dengan za lim dan jatah-jatah tanah rakyat yang dikapling-kapling sewenang-wenang atas nama negara. Khalifah sebelumnya, yaitu Sulaiman bin Abdul Ma lik, telah membuat surat perintah un tuk memberikan harta kepadaAnbasah bin Said bin Ash sebanyak 20 ribu dinar.

Anbasah telah mengurusnya dari satu kantor ke kantor yang lain hingga sampai di kantor pengesahan dan tinggal menerima harta itu, tetapi Su lai man lebih dulu meninggal dan ia be lum sempat menerima uang itu. An basah adalah sahabat Umar bin Abdul Aziz. Suatu pagi, Anbasah ingin membicarakan perihal perkara jatah yang diberikan Sulaiman untuknya itu pada Umar bin Abdul Aziz. Ia mendapatibani Umayyah telah ada di depan pintu Umar. Mereka juga ingin menemui Umar hendak mengutarakan maksud-maksud mereka. Begitu mereka melihat Anbasah, mereka berkata, ‘’Kita lihat dulu apa yang akan diperbuatUmar pada Anbasah sebelum kita berbicara padanya.’‘

Anbasah masuk menemui Umar dan berkata, ‘’Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya Khalifah Sulaiman telah memerintahkan untuk memberi 20 ribu Dinar untukku. Aku telah mengurusnya hingga sampai kantor pengesahan dan tinggal menerima uang itu saja, namun beliau lebih dulu wafat. Engkau wahai Amirul Mukminin, lebih utama untuk menyempurnakan pemberian itu padaku. Hubunganku denganmu lebih kuat dan baik daripada hubunganku dengan Sulaiman.’‘

Umar berkata padanya,’‘Berapa itu?’‘ Anbasah menjawab, ‘’Dua puluh ribu Dinar.’‘ Umar berkata, ‘’Dua puluh ribu Dinar yang bisa mencukupi empat ribu rumah kaum Muslimin itu aku berikan pada seorang saja? Maaf, aku tak bisa melakukan itu.’‘dam/dari berbagai sumber

Selasa, 24 Februari 2009

Kematian Hati

“Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya.”

Banyak orang cepat datang ke shaf shalat layaknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi.

Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri.

Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada idzin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH atasmu.

Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang.

Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri.

Asshiddiq Abu Bakar Ra. selalu gemetar saat dipuji orang. "Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidaktahuan mereka", ucapnya lirih.

Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang. Mereka telah menukar kerja dengan kata.
Dimana kau letakkan dirimu?
Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut.

Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.
Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma'siat menggodamu dan engkau meni'matinya?

Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada ALLAH, dimana kau kubur dia ?

Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu : 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU, 25 % mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan. Mungkin engkau mulai berfikir "Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh" Betapa jamaknya 'dosa kecil' itu dalam hatimu.

Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat "TV Thaghut" menyiarkan segala "kesombongan jahiliyah dan maksiat"?

Saat engkau muntah melihat laki-laki (banci) berpakaian perempuan, karena kau sangat mendukung ustadzmu yang mengatakan " Jika ALLAH melaknat laki-laki berbusana perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka tidak dilaknat ?"
Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang "Ini tidak islami" berarti ia paling islami, sesudah itu urusan tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada ALLAH disana?
Sekarang kau telah jadi kader hebat.
Tidak lagi malu-malu tampil.

Justeru engkau akan dihadang tantangan: sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga didepan ribuan massa.

Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki. Lupakah engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak melenceng 1 milimeter lagi ? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu.

Siapa yang mau menghormati ummat yang "kiayi"nya membayar beberapa ratus ribu kepada seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi di sebuah kamar hotel berbintang, lalu dengan enteng mengatakan "Itu maharku, ALLAH waliku dan malaikat itu saksiku" dan sesudah itu segalanya selesai, berlalu tanpa rasa bersalah?

Siapa yang akan memandang ummat yang da'inya berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi lalu mengatakan "Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam adalah ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua" Akankah engkau juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai 'alimullisan (alim di lidah)? Apa kau fikir sesudah semua kedangkalan ini kau masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?

Apa beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas da'wahnya? Akankah kau andalkan penghormatan masyarakat awam karena statusmu lalu kau serang maksiat mereka yang semakin tersudut oleh retorikamu yang menyihir ? Bila demikian, koruptor macam apa engkau ini? Pernah kau lihat sepasang mami dan papi dengan anak remaja mereka.
Tengoklah langkah mereka di mal. Betapa besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi produk junk food, semata-mata karena nuansa "westernnya" . Engkau akan menjadi faqih pendebat yang tangguh saat engkau tenggak minuman halal itu, dengan perasaan "lihatlah, betapa Amerikanya aku".
Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan Amerika, melainkan apakah engkau punya harga diri.
Mahatma Ghandi memimpin perjuangan dengan memakai tenunan bangsa sendiri atau terompah lokal yang tak bermerk. Namun setiap ia menoleh ke kanan, maka 300 juta rakyat India menoleh ke kanan. Bila ia tidur di rel kereta api, maka 300 juta rakyat India akan ikut tidur disana.

Kini datang "pemimpin" ummat, ingin mengatrol harga diri dan gengsi ummat dengan pameran mobil, rumah mewah, "toko emas berjalan" dan segudang asesori. Saat fatwa digenderangkan, telinga ummat telah tuli oleh dentam berita tentang hiruk pikuk pesta dunia yang engkau ikut mabuk disana. "Engkau adalah penyanyi bayaranku dengan uang yang kukumpulkan susah payah. Bila aku bosan aku bisa panggil penyanyi lain yang kicaunya lebih memenuhi seleraku"